Era reformasi merupakan
suatu kurun waktu yang ditandai dengan berbagai perubahan untuk membentuk suatu
keseluruhan tatanan baru yang lebih baik. Sedangkan pada saat ini,
tuntutan profesionalisme bagi
guru-guru di abad
21 menjadi satu
hal yang sangat mutlak
dibutuhkan. Guru harus peka terhadap perkembangan media, informasi dan
segala berita yang terjadi pada dunia pendidikan. Hal ini untuk memudahkan
seorang guru menjagi guru yang ideal dan terdepan dalam mengatasi
masalah-masalah guru dan pendidikan.PGRI adalah salah satu organisasi profesi
yang mewadahi kegiatan guru.
Pendahuluan
Mengawali kiprah yang
ditandai adanya perubahan orde senantiasa mewarnai iklim ditubuh
PGRI.Pergantian orde dari orde baru menuju orde lama terus berjalan ke era
reformasi. Pergartian yang di tandai dengan lengsernya orang nomor 1 di
indonesia dan telah memegang kendali pemerintahan selama 32 tahun yakni
presiden soeharto atas dasar demokrasi merupakan suatu wujud ditandainya orde
yang penuh demokratis yakni era reformasi.
Pembahasan
1.
Guru
Era Reformasi Ditandai Dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru
Era reformasi ditandai
dengan runtuhnya sebuah rezim orde baru yang otoriter.Yang dengan sifat
otoriternya maka sistem pemerintahannya sentralistik, termasuk juga dalam
bidang pendidikan yang sangat memusat.Setelah orde baru tumbang maka perubahan
menjadi pilihan pembangunan bangsa.Dan era perubahan itulah yang dikenal era
reformasi.Perubahan dalam reformasi dilakukan secara konsepsional dan
konstitusional dengan strategi dan program yang lebih efektif dalam suasana
madani.
Perjuangan PGRI pada masa
reformasi ini meliputi bidang keorganisasian, kesejehteraan, ketenagakerjaan,
perundang-undangan, reformasi pendidikan nasional serta kemitraan nasional dan
interbasional. Pada masa sekarang ini masih banyak pula pihak yang memandang
PGRI hanya sebagai aspek tertentu yang sempit dalam bentuk serpihan-serpihan
yang tidak terpadu dan dilandasi oleh kepentingan tertentu sebagai akibatnya
banyak berkembang persepsi yang kurang baik terhadap PGRI dan ini sudah banyak
menimbulkan berbagai hal yang kurang menguntungkan bagi PGRI dan terutama pada
anggotanya.
Seperti yang kita ketahui
dalam pasal (4) Anggaran Dasar (AD) PGRI dijelaskan bahwa PGRI merupakan
organisasi nasional yang bersifat unitaristik (mewadahi semua guru tanpa
memandang ijazah, tempat bekerja, kedudukan dll) independen (PGRI berlandaskan
pada prinsip-prinsip kemandirian organisasi dengan mengutamakan mitra
kesejajaran) non politik praktis (tidak terikat/ mengikatkan diri pada kekuatan
organisasi atau partai politik manapun) kesejahteraan guru merupakan inti dari
keseluruhan perjuangan PGRI.
Dalam upaya memperbaiki dan
meningkatkan pendidikan nasional, PB, PGRI ikut berperan serta secara aktif
dengan memberikan masukan pada pemerintah agar berbagai agenda reformasi yang
sedang dan akan dilaksanakan dapat terwujud dengan tepat sasaran. Salah satu
komponen yang sering dijadikan sasaran penyebab menurunnya mutu pendidikan
yaitu kurikulum. Kritikan yang cukup tajam terhadap kurikulum antara lain
materinya terlalu padat, tidak sesuai dengan kebutuhan bahkan merepotkan guru dalam
menjalankan civitasnya dibidang akademik.
Upaya reformasi pendidikan
pada sistem nasional hanya akan terwujud apabila guru mendapat tempat yang
sentral dan menjadi prioritas utama. Sehubungan dengan itu, PGRI menekankan
agar masalah guru pada era reformasi pada pendidikan nasional PGRI diharapkan
mendapat perhatian dan prioritas utama mengingat peranan guru yang fundamental.
Sebab dengan demikian perbaikan dalam dunia pendidikan akan terwujud. Persoalan
pelik dalam pendidikan, yakni persoalan mutu dengan sendirinya juga akan
teratasi. Namun jika itu tidak terpenuhi, maka keberadaan dunia pendidikan
tidak akan pernah menjadi baik. Masalah mutu, yang sekarang menjadi persoalan
yang paling krusial dalam pendidikan juga sulit untuk teratasi.
Pada era reformasi, di
tubuh PGRI juga mengalami perubahan yakni dengan melakukan penyesuaian AD/ ART
organisasi dan sesuai dengan tantangan dan tuntutan reformasi yang ditandai
dengan kongres ke XVIII pada tanggal 25-28 Nopember 1998 di Lembang bandung.Selain
dari pada itu perubahan sebagai organisasi yang mampu beradaptasi dan
mewujudkan dirinya sebagai the learnig organization (organisasi pembelajar).
Itulah sekilas gambaran
tentang kiprah PGRI dan dinamikanya sampai pada era reformasi.Meski tidak bisa
terdiskripsikan secara utuh, namun paling tidak itu juga bisa memberikan
kontribusi pemahaman.Sebab saat ini keberadaan guru memang masih memprihatinkan
yang imbasnya pendidikan juga sudah mulai menurun. Maka pada masa yang seperti
ini kontribusi pemikiran, kajian, dan diskusi tentang persoalan pendidikan,
termasuk juga PGRI sebagai organisasi guru dalam rangka mencari solusi yang
lebih baik bagi masa depan pendidikan bangsa kita. Dan tentu apa yang menjadi
malasah dalam dunia pendidikan seperti dijelaskan di atas juga harus dipikirkan
oleh PGRI. Harus diakui itu juga merupakan tantangan masa depan PGRI
.
1. PGRI dan Guru Masa Kini
Membangun sekolah yang
berkinerja tinggi merupakan tantang nyata yang harus dihadapi
oleh semua warga
sekolah. Kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan,
tenaga administrasi, komite sekolah,
termasuk siswa dituntut bahu membahu
menjawab tantangan tersebut. Sekolah tidak
bisa optimal berkinerja tanpa semua
pihak saling berkerja
sama serta saling
menunjang dalam semangat kebersamaan dan kesejawatan.
Menterjemahkan sekolah yang berkinerja tinggi selalu akan bersinggungan dengan
terjemahan sekolah efektif. Scheerens (1992) memandang sekolah efektif dalam dua
sisi, yaitu dari
sisi sudut pandang
ekonomi dan teori
organisasi.
Dari sisi ekonomi, dia
memandang secara ringkas bahwa sekolah
yang efektif adalah sekolah yang
mampu mencapai semua
output yang diharapkan
melalui suatu proses transformasi
sejumlah input dalam
proses pembelajaran. Dari sisi
teori organisasi, sekolah yang
efektif dipandang sebagai
lembaga yang produktif. Selain itu,
dalam sudut pandang teori organisasi, sekolah
yang efektif juga
lebih lanjut diterjemahkan sebagai
sekolah yang mampu
beradaptasi dengan
lingkungannya, merupakan sistem
yang terbuka dengan melibatkan
keterlibatan banyak pihak, hubungan harmonis dan suportif antar orang.
Dan terakhir, sekolah efektif
dipandang dari sisi
ini adalah sekolah
yang peka terhadap
tuntutan warga sekolah dan
stakeholder.
Dari ciri-ciri
sekolah efektif diatas,
kita bisa memaknai
bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu menampilkan
(perform) semua indikator dua
perspektif Sheerens di
atas. Indikator perspektif
Scheeres tentang sekolah efektif bisa
dijadikan salah satu
alternatif dalam menentukan
indikator-indikator kinerja sekolah. Kembali
pada bahasan di
awal, membangun sekolah
berkinerja tinggi, sekolah yang
berkinerja tinggi adalah
sekolah yang mampu
menampilkan indikator-indikator sekolah efektif yang dijelaskan di atas
secara optimal.
Sekolah berkinerja tinggi
adalah sekolah yang mampu menghasilkan keluaran berupa:
1. Proses
pembelajaran yang efektif
2. Siswa dan
guru yang berprestasi
tinggi baik akademik
maupun non akademik
3. Tingkat
kehadiran warga sekolah tinggi
4.
Pelayanan akademik
dan administratif yang
optimal pada semua
warga sekolah
5.
Iklim dan budaya sekolah
yang positif dan dinamis
6.
Etos kerja warga sekolah
yang tinggi
7.
learning organization
8.
Hubungan antar pribadi yang
harmonis
9.
Tata kelola sekolah yang
baik
Untuk mewujudkan
sekolah yang berkinerja
tinggi, diperlukan suatu sistem
peningkatan sekolah (school
improvement) yang berkelanjutan. Peningkatan sekolah
ini meliputi semua
proses yang berlangsung
di sekolah, mulai dari proses
pembelajaran, pembimbingan siswa, pembinaan siswa, layanan siswa,
manajemen sumber daya, dan semua
proses lainnya yang
berlangsung di sekolah. Semua
proses yang berlangsung di sekolah harus senantiasa diupayakan dinamis,
inovatif, dan selalu ditingkatkan dalam
rangka optimalisasi potensi
dan prestasi siswa.
Upaya peningkatan
proses yang terjadi disekolah
memerlukan strategi yang efektif.
Strategi yang efektif adalah strategi yang didasarkan pada tata nilai dan
keyakinan yang tumbuh dan berkembang
di sekolah, dan menjadi komitmen bersama
untuk menaatinya. Dengan kata lain, strategi efektif adalah strategi yang
berlandaskan budaya sekolah.
Setidaknya ada 4
(empat) strategi yang
bisa diadaptasikan sekolah dalam rangka peningkatan proses. Strategi ini
disarikan dari paparan Surya Dharma (2012), yaitu:
1.
Manajemen kurikulum
Strategi manajemen
kurikulum dimaksudkan bahwa pembelajaran
yang dilakukan mengacu
pada standar kurikulum yang ada.
Semua proses pembelajaran
dimaksudkan untuk mencapai bahkan kalau
bisa melampaui standar
kurikulum. Sekolah menetapkan target prestasi
belajar siswa dengan
jelas dan rasional.
Semua upaya penilaian hasil
belajar siswa harus sesuai
dengan standar kurikulum
yang diacu, dan monitoring yang efektif atas pelaksanaan kurikulum
tersebut.
2.
Praktik pembelajaran
Strategi pembelajaran
yang dilakukan adalah dengan
cara menciptakan lingkungan
kelas yang mendukung
dan memperhatikan perbedaan antar individu dan ditujukan bagi semua
siswa. lebih mengedepankan kemandirian siswa agar pemahaman mereka tentang
materi pelajaran lebih mendalam. Selain itu, dalam strategi ini juga harus
ditekankan upaya guru
untukk menciptakan pembelajaran
yang inovatif dan variatif.
Guru melakukan evaluasi
formati agar perbaikan pembelajaran bisa
dilakukan secara efektif.
Selain itu, guru
juga melakukan monitoring atas pembelajaran secara intens.
3.
Sekolah efektif.
Sekolah efektif
merupakan strategi yang
bisa diadaptasi sekolah dalam
rangka peningkatan lembaga.
Dimana sekolah efektif memiliki karakter
budaya kerja sama
dan kepercayaan warga
sekolah semata-mata
ditujukan untuk keberhasilan
siswa. Sekolah merupakan wujud dari lembaga
yang selalu fokus
pada pembelajaran. Memiliki
visi yang jelas, memiliki
core beliefs yang
ajeg, membuat perencanaan strategis, serta selalu melakukan
perbaikan secara konsisten dan spesifik.
4.
Dukungan orang tua
dan masyarakat
Lingkungan sekolah
dijadikan sebagai mitra stregis
peningkatan sekolah yang
kedudukannya sejajar.
Sekolah harus melakukan
kerja sama pro-aktif
dan atas dasar prinsip
saling menguntungkan.
2. Permasalahan Guru
Berbicara tentang
guru, seolah topik
ataupun tema ini
tak pernah jenuh untuk dibahas. Semua sisi dari dimensi
guru menarik untuk dikaji.Dari waktu ke waktu, problematik guru selalu muncul bergantian.
Probelmatik ini menjadi salah satu
beban berat yang
harus ditanggung sekolah dalam
upayanya meningkatkan kinerja dan
mutu pendidikan. Saat ini, setidaknya
ada 7 (tujuh)
masalah pokok yang
dihadapi guru di Indonesia.
Pertama, adalah
permasalahan distribusi guru.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadi kesenjangan antara
sebaran guru di daerah perkotaan dengan di daerah perdesaan yang sangat lebar perbedaannya. Sampai-sampai
pemerintah harus mengeluarkan pil pahit melalui SKB 5 antara Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementrian PAN dan
RB, Kementrian Dalam
Negeri, Kementrian Keuangan, dan
Kementrian Agama yang isinya mengatur kesepakatan untuk kerja sama dan
memberikan dukungan dalam
pemantuan, evaluasi, dan
kebijakan penataan serta pemerataan
guru secara nasional.
Kedua, ketidaksesuaian (missmatch) bidang
keilmuan dengan bidang
kerja. Permasalahan kekurangan guru pada
bidang studi tertentu
menjadi salah satu
sumber terjadinya persoalan missmatch bidang keilmuan
ini.
Ketiga.Kualifikasi pendidikan.
Standar tenaga pendidik yang
telah ditetapkan pemerintah masih belum bisa dicapai sepenuhnya. Sebagai contoh,
dari buku saku
statistik pendidikan 2009/2010
diketahui bahwa untuk sekolah
Taman Kanak-kanak, guru
yang belum memenuhi
standar kualifikasi (dengan mengabaikan
kesesuaian ijazah kependidikan
yang relevan) masih 90,13% ,
Sekolah Dasar masih 75,77% belum memenuhi kualifikasi. Keempat, kompetensi dan karir guru. Dari hasil uji kompetensi awal
yang dilakukan pada 275.768
guru tingkat nasional,
hasilnya cukup memprihatinkan, dari bobot
skor 100, ternyata
nilai terendah dari
hasil uji tersebut
adalah 1, dan rata-rata skornya adalah 41,5.
Ini mengindikasikan bahwa kompetensi guru
masih “jauh panggang dari api”. Terkait
dengan karir guru, hampir menjadi hal yang lumrah, bahwa
golongan kepangkatan guru
banyak yang terhenti di
golongan IVa, padahal jenjang yang bisa dilalui bisa sampai dengan
golongan IV e. Kelima,
sertifikasi. Belum semua
guru di Indonesia
memiliki sertifikat guru.
Padahal, sertifikat ini merupakan
salah satu syarat
profesionalitas seorang guru. Keenam,peningkatan keprofesian
berkelanjutan (PKB). Tiga
unsur dari upaya pengembangan keprofesian berkelanjutan
guru menjadi bagian dari permasalahan yang
dihadapi guru.
Upaya pengembangan
diri guru yang
masih belum optimal menjadi salah
satu penghalang guru
untuk menjadi seorang
guru profesional. Rendahnya kesempatan
guru untuk meningkatkan
diri mejadi penyebabnya. Terkait dengan
unsur kedua, yaitu
publikasi ilmiah, kemapuan,
minat, dan kesempatan untuk
meningkatkan kapasitas publikasi
ilmiah menjadi masalah serius bagi guru.
Dan terakhir, unsur
karya inovati, juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari permasalahan guru selama
ini. Ketujuh, Rekrutmen
guru. Patut diduga bahwa
rendahnya kualitas guru diawali
pada proses rekrutmen
guru. Rendahnya kualitas calon
guru dan sistem rekrutmen
yang tidak efektif
dan bermutu rendah
merupakan indikator dari permasalahan rekrutmen guru saat ini.
3. Kebijakan Guru Saat Ini
Terkait dengan
permasalahan yang dihadapi
terkait dengan guru,
ada beberapa kebijakan pemerintah
yang saat ini dijalankan. Pertama, terkait dengan perencanaan kebutuhan guru, ada dua
mekanisme yang diambil pemerintah, yaitu melalui pengangkatan
guru baru, mekanisme
biasa yang sudah
berjalan selama ini. Cara
yang kedua adalah
dengan melakukan redistribusi
guru dengan beban mengajar 24
jam/minggu. Kedua, terkait dengan
rekrutmen. Proses rekrutmen. Kedepan, seseorang
calon guru bisa
berasal dari jenis
perguruan tinggi apa
saja. Jika selama ini
hanya LPTK merupakan
satu-satunya lembaga penghasil
calon guru, kedepannya semua lulusan perguruan tinggi baik LPTK maupun
non LPTK memiliki kesempatan untuk
menjadi guru. Khusus
untuk mahasiswa LPTK, begitu
mereka lulus ujian
masuk perguruan tinggi
LPTK, mereka akan
dites lagi untuk diberi beasiswa
dan diasramakan. Selain itu, perekrutan calon guru ini juga dilaksanakan pula
pada mahasiswa LPTK semester 5-8.
Ketiga, terkait
dengan pembinaan dan
pengembangan profesi guru.
Ada mekanisme baru pembinaan
dan pengembangan profesi
guru. Calon guru
yang memiliki sertifikat pendidikan
dan mengikuti tes
penerimaan guru. Setelah diterima status mereka adalah guru
tanpa jabatan fungsional. Untuk menjadi guru PNS dengan
jabatan fungsional, yang
bersangkutan harus mengikuti
program Induksi selama 1
tahun, dan bila
belum mencapai skor
minimal berkategori baik bisa
diperpanjang 1 tahun. Setelah mereka
mendapat jabatan fungsional
mereka akan mendapat kesejahteraan, penghargaan
dan perlindungan, serta
tunjangan profesi. Secara periodik
mereka akan dilakukan
penilaian kinerja untuk mengetahui posisi kelayakannya secara
profesional.
4. Guru di Abad 21: Apa dan
Bagaimana?
Di abad
21 ini, tantang
pendidikan secara umum,
sekolah, dan guru semakin
berat. Tipikal/karakteristik anak-anak
dan lingkungan sekolah
semakin cepat berubah. Sudah tidak
pada tempatnya lagi
kita berbicara dalam
konteks lokalitas, jika tidak
ingin terasingkan dengan
pergaulan dunia dan
kalah dalam persaingan. Kita
hidup di lingkungan
yang sangat cepat
berubah, global, dan kompleks, dan dengan informasi yang
sangat padat/jenuh (saturated-information). Setidaknya ada 3 aspek yang sangat
mempengaruhi dunia pendidikan saat ini.
Pertama adalah
globalisasi. Globalisasi telah
benar-benar merubah wajah pendidikan dalam
berbagai aspek. Mulai
dari kurikulum, sarana
pra sarana, ketenagaan, kesiswaan,
bahkan pengelolaan. Kurikulum
standar internasional adalah salah
satu contoh bagaimana
kurikulum dipengaruhi oleh
globalisasi. Benchmark
pengembangan kurikulum tidak
bisa lagi berbicara
dalam konteks nasional, atau
local genuine saja.
Sekolah dituntut untuk
melakukan pengembangan yang juga
berorientasi global. Isu akreditasi
itnternasional juga merupakan salah
satu isu globalisasi
dalam pendidikan. Mutu
penyelenggaraan manajemen
kelembagaan juga tidak
luput dari interevensi
global dengan menjamurnya
sertifikasi ISO di lembaga pendidikan.
Kedua, teknologi dan inovasi.Tak
dipungkiri, globalisasi ditandai dengan merambahnya teknologi kedalam semua
aspek pendidikan di sekolah, baik aspek pembelajaran, pengelolaan, dan layanan
pendukung lainnya. Proses pembelajaran yang
bersifat synchronous dan
a-syncrhonous merupakan salah
satu dampak globalisasi dalam
implementasi kurikulum di kelas. Pemanfaatan gadget informasi yang intens
dalam proses pembelajaran
merupakan bukti adanya
globalisasi. Pemanfaatan e-mail, search engine, satelit, phod cast,
telepon, dan gadget lainnya menjadi
barang yang familiar
ada di sekitar pembelajaran
yang berlangsung di kelas.
Ketiga, bagaimana
cara siswa belajar. Dari
generasi ke generasi,
pola belajar atau cara
belajar siswa terus
berkembang. Di abad
21, dengan terjadinya lingkungan siswa
yang berubah dengan
cepat, maka perubahan pada cara
siswa belajar juga berubah. Jika
dulu siswa hanya
dipandang sebagai tempat
kosong yang siap diisi
dengan pengetahuan, sekarang
siswa dibelajarkan bukan
dalam rangka mengisi otaknya dengan sejumlah pengetahuan yang dikuasai
guru. Siswa sekarang diajarkan bagaikana
supaya peka terhadap
lingkungan, mampu belajar mandiri, dan
memecahkan permasalahan sendiri.
Siswa dituntut untuk
pro aktif mencari informasi
sendiri yang sumbernya
sangat banyak tersedia
di lingkungan dia. Jika
dulu pembelajaran bersifat
pasif, maka sekarang
siswa dituntut untuk
aktif dan kreati.
Karakteristik kelas
di abad 21
adalah dinamis, banyak tuntutannya, dan egaliter. Ini tentu
mempengaruh cara siswa dalam belajar. Dalam dunia pendidikan, era abad 21
menuntut pendidikan menghasilkan keluaran yang berbeda dari era
sebelunya.Ada beberapa output khas
pendidikan abad 21, seperti digambarkan dalam gambar di bawah ini. Yang menjadi
mata pelajaran inti yang
menjadi tema abada
21 seperti digambarkan di atas
adalah sebagai berikut:
1.
Bahasa Inggris (bahasa dan
sastra)
2.
Bahasa dunia
3.
Seni
4.
Matematika
5.
Ekonomi
6.
Geografi
7.
Sejarah
8.
Pemerintah dan
kewarganegaraan.
Melalui situsnya,
P21 menegaskan bahwa
sekolah tidak hanya
semata mengedepankan ke-8 matapelajaran
tersebut sebagai fokus. Namun
sekolah juga harus memberikan
pemahaman lebih lanjut
pada siswa tentang
tema-tema interdisiplin yang dikelompokkan pada 5 kelompok
interdisiplin, yaitu :
1. Global
awareness. Menggunakan keterampilan abad
21 untuk memahami dan mengidentifikasi isu-isu global. Belajar dari pengalaman
dan bekerja secara kolaborasi dengan
orang lain yang
menggambarkan keberagaman budaya,
agama, dengan lebih mengedepankan dialog.
2. Pemahaman finansial,
ekonomi, bisnis, dan
kewirausahaan. Diajarkan
bagaimana melakukan keputusan
ekonomis, paham dalam
menjalankan peran ekonomi di
tengah-tengah masyarakat, dan
menggunakan keteramplan kewirausahaan untuk meningkatkan produktivitas
dan karir.
3. Pemahaman tentang
ketatanegaraan.
Berpartisipasi secara aktif
dalam kehidupan bernegara dengan
cara tahu dan
paham serta terlibat
dalam proses pemerintahan. Melaksanakan
hak dan kewajiban
sebagai warga negara, dan
memahami dampak dari keputusan ketatanegaraan.
4. Pemahaman tentang
kesehatan. Tahu dan
paham, serta mampu menerapkan informasi
kesehatan dasar untuk
meningkatkan taraf kesehatan diri.
Tahu apa yang
harus dilakukan dalam
rangka mencegah penyakit dan
menjaga kesehatan. Bisa menggunakan
informasi kesehatan untuk membuat keputusan sendiri dan lingkungan. Serta
mengetahui isu-isu kesehatan di sekitar.
5. Pemahaman lingkungan.
Tahu dan memahami
lingkungan sekitar. Memahami dampak
kehadiran manusia terhadap
lingkungan, mau mengamati dan
menganalisis isu lingkungan
dan membuat solusi
efektif atas permasalahan lingkungan.
Ikut terlibat dalam
upaya penyelematan perusakan
lingkungan. Terkait dengan output
kedua, keterampilan belajar
dan inovasi, P21 meringkas 4 C untuk keterampilan
tersebut. yaitu:
1.
Creativity and innovation.
2.
Critical thingking and
problem solving.
3.
Communication.
4.
Collaboration
Keterampilan yang
ketiga yaitu informasi,
media, dan teknologi.
P21 menjelaskan bahwa masyarakat
di abad 21
tinggal di lingkungan
yang diliputi teknologi dan
media. Untuk itu, siswa harus memiliki pemahaman :
1.
Informasi. Mampu
mengakses secara efisien
dan efektif, serta mengevaluasi informasi
secara kritis dan
kompeten. Harus mampu menggunakan informasi
secara akurat dan
kreatif, mampu mengelola informasi dari berbagai sumber
secara bijaksana, dan mampu menerapkan isu etis atau hukum dalam mengakses
informasi.
2.
Media. Mampu
menganalisis media dengan cara
memahami bagaimana dan mengapa
memdia dibangun, dan untuk apa. Paham bahwa media bisa diinterpretasikan banyak
oleh banyak kalangan.
Mampu menerapkan isu etika dan hukum dalam mengakses media.
Selain itu, mampu menciptakan media.
3.
TIK. Siswa
harus mampu menerapkan
atau menggunakan TIK
secara efektif.
Keterampilan berikutnya
adalah kehidupan dan
karir. P21 menyarankan bahwa untuk hidup di abad 21
siswa harus :
1.
Fleksibel dan adaptif.
2.
Memiliki inisiati dan mampu
mengendalikan diri.
3.
Memiliki keterampilan
social.
4.
Produktif dan akutabel.
5.
Memiliki jiwa kepemimpinan
dan bertanggung jawab.
Untuk bisa
mewujudkan ke-4 (empat)
output pendidikan di
atas, setidaknya ada 5 (lima) hal yang menjadi determinan output
tersebut. Yaitu:
1.
Standar, Fokus pada standar
kompetensi dan isi.
2.
Penilaian, Evaluasi
hasil belajar yang
efektif dan bermutu
tinggi melalui formatif dan
sumatif. Menggunakan hasil
penilaian sebagai bahan feedback dalam keseharian di kelas.
Menggunakan sarana/pra sarana yang efektif
dalam menilai. Mampu
merancang portofolio yang
bisa menggali kemampuan/pemahaman
siswa.
3.
Kurikulum dan Pembelajaran,
Merancang materi, strategi belajar, memilih media yang bisa mencapai tujuan
pembelajaran abad 21.
4.
Pengembangan Profesional. Diarahkan untuk
membekali guru bagaimana mengintegrasikan keterampilan,
sarana pra sarana,
dan strategi belajar mengajar dalam pembelajaran.
Memberikan bekal pengetahuan pada guru bagaimana cara mengidentifikasi gaya
belajar siswa.
5.
Lingkungan belajar.
Membangun situasi belajar,
dukungan individu dan lingkungan yang
akan mendukung pencapaian
outcome keterampilan abad 21.
Dengan kondisi seperti
tersebut di atas, apa yang harus
dilakukan guru di Abad 21? Untuk bisa
tetap bertahan dan
mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran
di era yang
sedemikian berubah, seorang
guru perlu menyiapkan dirinya
dengan baik. Kesiapan mental, intelektual, keterampilan, dan tentunya juga
fisik. Motivasi mengajar dan mendidik yang tinggi juga merupakan variabel penting
dalam suksesnya pembelajaran.
Ia dituntut menjadi
guru yang efektif, yaitu guru
yang memiliki ciri:
1.
Menjadi manajer kelas yang
sangat baik.
2.
Memahami bagaimana cara
mengajar yang baik.
3.
Memiliki harapan yang
tinggi terhadap keberhasilan siswa.
Menurut penelitian
Dawson dan Billingsley
(2000), guru yang
efektif mampu meningkatkan prestasi
siswa yang rendah sebesar 53% di tahun pertama, dan 83% di dua tahun
berkutnya. Sedangkan guru yang tidak
efektif, ia hanya mampu meningkatkan prestasi siswa yang rendah sebesar 14%
saja di tahun pertama, dan 29% di dua tahun berikutnya.
Jika selama
ini kita tahu
bahwa karakter guru profesional adalah
guru yang memiliki
4 kompetensi secara
utuh (pedagogik,
kepribadian, sosial, dan
profesional). Teacher Development
Planning Team (2004)
menggambarkan sosok guru
profesional adalah guru
yang memiliki kompetensi:
1.
Kompetensi utama,
yaitu pedagogik, kepemimpinan, kepribadian,
dan pengetahuan.
2.
Kompetensi dasar,
yaitu kemampuan komunikasi,
kemampuan kolaborasi, kemamuan teknologi, dan kemampuan evaluasi.
Selain menjadi
sosok profesional, Stansbury
(2011) mengidentifikasi 5 (lima) ciri guru yang efektif di abad 21,
yaitu:
1.
Guru yang mampu
mengantisipasi masa depan.
Seorang
guru yang efektif
adalah guru yang
dalam mengajar bertujuan menyiapkan siswa di masa yang akan
datang.Menyiapkan siswa untuk bisa hidup
dan tumbu-kembang di
era mereka, bukan
saat dimana mereka diajarkan, tapi
disiapkan untuk masa
yang akan datang.
Dengan begitu, seorang guru harus
mampu memprediksi kecenderungan-kecenderungan di masa yang
akan datang, dimana
anak-anak yang sekarang
diajar akan hidup di era
tersebut.
2.
Pebelajar seumur hidup
(Lifelong learner).
Dunia
akan terus senantiasa
berubah. Mereka menghendaki
sesuatu yang benar-benar baru.
Untuk itu, seorang
guru dituntut untuk
terus menyesuaikan diri, fleksibel, mampu menerima perubahan, dan siap
gagal. Mereka harus senantiasa belajar untuk bisa bertahan.
3.
Mampu mengajar semua
karakter siswa.
Seorang
guru abad 21
haruslah seorang yang
bersifat pemimpin
situasional. Mereka harus
memapu mengidentifikasi kemapuan
setiap siswa, dan paham
bahwa semua siswa
memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menerima pelajaran,
motivasi belajar, atau menerima perlakuan
strategi tertentu yang
dibuat guru. Dengan
karakter yang berbeda-beda, tentu
tugas guru akan
berat, karena tidak
boleh satupun anak yang tidak teroptimalkan potensinya ke
tingkatan yang paling tinggi mengacu ke
standar.
4.
Mampu membedakan teknologi
yang mendukung dengan yang tidak.
Anak-anak
usia sekolah adalah
sosok yang memiliki
kemampuan sangat cepat dalam
beradaptasi dengan teknologi
(TIK). Sistem sekolah
tidak harus selalu dengan detil mengajari mereka bagaimana
mengoperasikan perangkat-perangkat teknologi, tetapi sebaiknya
sekolah/guru harus mengetahui teknologi mana yang akan membuat siswa belajar
banyak dan lebih cepat. Ia harus mahir
dalam menilai apakah teknologi yang
tersedia bagi mereka itu mendidik atau tidak, baik di sekolah ataupun di rumah.
C.
Kesimpulan
Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Era reformasi merupakan
suatu kurun waktu yang ditandai dengan berbagai perubahan untuk membentuk suatu
keseluruhan tatanan baru yang lebih baik. Sedangkan pada saat ini,
tuntutan profesionalisme bagi
guru-guru di abad
21 menjadi satu
hal yang sangat mutlak
dibutuhkan. Guru harus peka terhadap perkembangan media, informasi dan
segala berita yang terjadi pada dunia pendidikan. Hal ini untuk memudahkan
seorang guru menjagi guru yang ideal dan terdepan dalam mengatasi
masalah-masalah guru dan pendidikan. PGRI adalah salah satu organisasi profesi
yang mewadahi kegiatan guru.
2.
Permasalahan Guru anatara
lain
a.
Permasalahan distribusi
guru. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa terjadi kesenjangan antara sebaran guru di daerah
perkotaan dengan di daerah perdesaan
yang sangat lebar perbedaannya. Sampai-sampai pemerintah harus
mengeluarkan pil pahit melalui SKB 5 antara Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementrian PAN
dan RB, Kementrian
Dalam Negeri, Kementrian Keuangan, dan Kementrian Agama yang
isinya mengatur kesepakatan untuk kerja sama
dan memberikan dukungan
dalam pemantuan, evaluasi,
dan kebijakan penataan serta
pemerataan guru secara
nasional.
b.
Ketidaksesuaian
(missmatch) bidang keilmuan
dengan bidang kerja.
Permasalahan kekurangan guru pada
bidang studi tertentu
menjadi salah satu
sumber terjadinya persoalan missmatch bidang keilmuan
ini.
c.
Kualifikasi pendidikan.
Standar tenaga pendidik yang
telah ditetapkan pemerintah masih belum bisa dicapai sepenuhnya. Sebagai contoh,
dari buku saku
statistik pendidikan 2009/2010
diketahui bahwa untuk sekolah
Taman Kanak-kanak, guru
yang belum memenuhi
standar kualifikasi (dengan mengabaikan kesesuaian
ijazah kependidikan yang
relevan) masih 90,13% , Sekolah Dasar masih 75,77% belum memenuhi
kualifikasi.
d.
Kompetensi dan karir guru.
Dari hasil uji kompetensi awal yang dilakukan
pada 275.768 guru
tingkat nasional, hasilnya
cukup memprihatinkan, dari bobot
skor 100, ternyata
nilai terendah dari
hasil uji tersebut
adalah 1, dan rata-rata skornya adalah 41,5. Ini
mengindikasikan bahwa kompetensi guru masih “jauh panggang dari api”.
3.
Teacher Development
Planning Team (2004)
menggambarkan sosok guru
profesional adalah guru
yang memiliki kompetensi:
a.
Kompetensi utama,
yaitu pedagogik, kepemimpinan,
kepribadian, dan pengetahuan.
b. Kompetensi dasar,
yaitu kemampuan komunikasi, kemampuan kolaborasi, kemamuan teknologi, dan
kemampuan evaluasi.